Minggu, 15 April 2012

Rehabilitasi Medik pada Lansia

Untuk memulai program rehabilitasi medik pada penderita lansia, sebagai tenaga profesional harus mengetahui kondisi lansia saat itu, baik penyakit yang menyertai maupun kemampuan fungsional yang mampu dilakukan. Salah satunya di kemukakan oleh Katz, DKK yang telah menetapkan Fungsional Assessment Instrument untuk menggolongkan kemandian merawat diri pada lansia dengan berbagai macam penyakit, misal fraktur collum femoris, infark cerebri, arthritis, paraplegia, keganasan, dll. Adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing, Toileting, Transfering, Continence dan Feeding.
1. Program Fisioterapi
a. Aktivitas di tempat tidur
- Positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif lingkup gerak sendi.
b. Mobilisasi
- Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan.
- Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari: mandi, makan, berpakaian.
2. Program okupasi terapi
Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung pada aktifitas yang diinginkan.
3. Program ortetik prostetik
Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah di pakai.
4. Program terapi bicara
Program ini kadang – kadang tidak selalu di tujukan untuk latihan bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila di temukan adanya kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. Hal ini sering terjadi pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf fagus, saraf lidah, dll.
5. Program sosial medik
Petugas social medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas yang di butuhkan penderita. Sebagai contoh seorang lansia yang tinggal dirumahnya banyak tramp/anak tangga, bagaimana bisa di buat landai/pindah kamar yang datar dan bisa dekat dengan kamar mandi.
6. Program psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan emosionalnay yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk memberikan motifasi lansia agar lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.
7. Keunggulan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut:
a. Pendekatan pelayanan bersifat medico – psiko – social – edukasional – vokasional yang merupakan pemenuhan aspek kebutuhan dasar manusia.
b. Penanganan oleh Tim Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.
c. Penanganan bersifat komprehensif dan terintegrasi di suatu tempat.
d. Senantiasa menyediakan alat – alat terapi yang baru untuk menunjang pelayanan rehabilitasi medik yang lebih baik.

Dekubitus

a. Derajat dekubitus

· Derajat I : reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Tampak sebagai daerah kemerahan atau eritema indurasi atau lecet

· Derajat II : reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus yang dangkal, dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit

· Derajat III : ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau

· Derajat IV : perluasan ulkus menembus otot, sehingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.

b. Patofisiologi Dekubitus

Pada keadaan normal, tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Namun sebagai contoh bila seorang penderita mengalami immobilisasi/tirah baring dalam waktu yang cukup lama maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.

Tekanan tersebut akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dekubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.

Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor tambahan lain yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus:

a. Faktor Intrinsik

· Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis.

· Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan.

· Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.

· Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun.

· Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight

· Anemia

· Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun

· Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, juga mempermudah dan meperjelek dekubitus

· Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.

b. Faktor Ekstrinsik

· Kebersihan tempat tidur.

· Peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.

· Duduk yang buruk

· Posisi yang tidak tepat

· Perubahan posisi yang kurang

konstipasi

Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering.

  1. Penyebab konstipasi

ü Kurang gerak.

ü Kurang minum.

ü Kurang serat.

ü Sering menunda buang air besar.

ü Kebiasaan menggunakan obat pencahar.

ü Imobilisasi

ü Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai adanya gangguan seperti usus terbelit.

  1. Patofisiologi konstipasi

Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang akhirnya akan memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, maka konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan. Pada usia lanjut terdapat perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada lansia yang imobilisasi perpanjangan waktu gerakan usus dapat mencapai 14 hari, sehingga sering menyebabkan konstipasi.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya bagi mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami perubahan patologis, antara lain:

· Diskesia rektum: penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasias.

· Dis-sinegia pelvis: terdapat relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB.

· Peningkatan tonus rektum: kesulitan mengeluarkan feses yang berbentuk kecil.

Cara mengurangi resiko konstipasi

· Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran dan buah-buahan.

· Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan (air, jus, teh, kopi) setiap hari untuk melembutkan feses.

· Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena bisa menyebabkan ketergantungan.

  1. Pemeriksaan

o Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.

ü Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran nadi.

ü Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.

ü Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.

ü Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor resiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.

ü Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan koloskopi (Nri, 2004).

  1. Terapi
  • Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia pengobatannya harus hati-hati. Untuk pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu perubahan kebiasaan hidup meliputi latihan buang air besar secara teratur, dikombinasi olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari air/jus buah, makanan berserat sehari 20-30 gram.
  • Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu penggunaan obat-obatan laksatif atau supositoria dan enema serta terapi lainnya.
  • Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis, bahkan pada konstipasi tertentu perlu dilakukan tindakan operasi.

e. Patofisiologi hubungan serat dengan konstipasi

Diet berserat tinggi mempertahankan kelembaban tinja dengan cara menarik air secara osmotis ke dalam tinja dan dengan merangsang peristaltik kolon sehingga makanan yang dicerna cenderung lebih cepat untuk sampai pada rektum. Dengan demikian, orang yang makan makanan rendah serat beresiko lebih besar mengalami konstipasi.

Gangguan kesadaran

a. Pengertian Konfusio
Konfusio adalah sebuah sindrom yang dicirikan dengan kerusakan kognitif global dengan awitan tiba-tiba yang biasanya berdurasi kurang dari satu bulan. Kemampuan lansia untuk memperoleh stimulus yang datang dengan cara yang bermakna sudah hilang. Kemampuan untuk berfikir mengikuti perintah berespon terhadap stimulus dan berkonsentrasi mengalami perubahan. Siklus bangun tidur orang tersebut terganggu, ingatan tentang hal - hal yang baru saja terjadi hilang dan terjadi prilaku verbal dan motorik yang tidak tepat. Konfusio adalah suatu akibat gangguan fungsi menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewa spadaan dan terganggunya proses berpikir yang berakibat terjadinya diorientasi. Konfusio adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. konfusio biasanya disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk menginduksi/mendapatkan konfusio. Meskipun sebelumnya konfusio dipercaya sebagai kondisi self limiting (sembuh sendiri).
b. Epidemiologi Konfusio
Konfusio sering ditemukan pada lansia. Menurut data Depkes pada tahun 2005 didapatkan bahwa 23,75 % dari keseluruhan jumlah penduduk lansia di Indonesiamengalami konfusio. Dalam kurun waktu usia 65-75 tahun didapatkan kemunduran pada beberapa kemampuan dan kemampuan kesadaran serta intelektual baru menurun di usia 80 tahun.
c. Etiologi
Tiga penyebab utama dari konfusio pada lansia yaitu keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral, dan penyebab iatrogenetik. Depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio.
1). Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik intraserebral antara lain : odema serebral, hidrosefalus, defisiensi vitamin B12, meningitis, dan serangan iskemik otak yang bisa disebabkan akibat adanya penurunan pasokan nutrisi serebral.
2). Konfusio yang disebabkan oleh keadaan patologik ekstraserebral antara lain: penyebab toksik (endokarditis, bakterialis subakut, alkoholisme), kegagalan mekanisme homeostatic (DM, gagal hati, gagal ginjal, dehidrasi, gangguan elekrolit), depresi dan gangguan sensori persepsi (pendengaran dan penglihatan).
3). Konfusio yang disebabkan oleh penyebab iatrogenic terdiri atas obat-obatan yang dihubungkan dengan gangguan memori seperti : anti kolinergik, anti konvulsan tertentu, kortikosteroid, benzo-diazepin, fenotiazin, obat psikotropik dan sedative.
d. Patofisiologi
Patofisiologinya tidak diketahui, tetapi dapat terjadi karena penurunan metabolisme oksidatif otak menyebabkan perubahan neurotransmiter di daerah prefrontal dan subkortikal. Ada kejadian penurunan kolinergik dan peningkatan aktifitas dopaminergik, pada saat kadar serotonin dan kadar GABA yang bermakna tetap tidak jelas. Hal lain konfusio dapat efek dari kortisol plasma yang meningkat pada otak akibat diinduksi stress dan depresi.
e. Klasifikasi
a. Bentuk hiperaktif
Pasien dengan bentuk ini dapat mencabut infus dan balutan, mengambil sesuatu diudara, memanjat penghalang tempat tidur dan memanggil nama orang yang dicintai yang sudah meninggal. Dapat terlihat respon soistem saraf otonom seperti takikardia, dilatasi pupil, diaphoresis.
b. Bentuk hipoaktif
Hipoaktif dicirikan dengan keletihan berlebihan, hipersomnolens yang berkembang menjadi hilang kesadaran.
c. Bentuk campuran
Agitasi sering memburuk di malam hari dan bergantian dengan interval yang jelas disiang hari.
f. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari konfusio yaitu:
- Insomnia
- Hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara
- Mengantuk
- Ansietas
- Mimpi buruk
- Keluhan sulit mengingat
- Keletihan berlebih
- Rentang perhatian yang pendek
- Anoreksia

g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien seperti :
- Adanya penurunan derajat kesadaran
- Tensi menurun
- Takikardi

h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konfusio di rumah sakit meliputi pencegahan, diagnosis awal, pencarian dengan seksama dan tatalaksana faktor-faktor pencetus, tindakan suportif dan, bila perlu, pengobatan. Secara garis besar obat-obatan yang dapat diberikan untuk mengurangi konfusio akut pada lansia adalah : amantadin, anti depresan, anti histamin, anti parkinsoniasme, anti kolinergik, anti konvulsan, fikogsin, opiat, dan obat penenang.
Walaupun tindakan suportif, penatalaksanaan farmakologik konfusio untuk mengurangi kecemasan dan agitasi mungkin diperlukan untuk meyakinkan keamanan pasien dan pegawai. Pasien dengan konfusio hipoaktif biasanya tidak membutuhkan sedasi, meskipun dosis rendah antipsikotik mungkin diperlukan apabila ada bukti distres halusinasi.
Meskipun terdapat banyak pengobatan yang tersedia untuk pengobatan konfusio, terdapat beberapa kaidah yang hendaklah diterapkan untuk semua obat. Obat-obat diharapkan diberikan per oral pada dosis rendah, dengan pemberian dosis lebih besar bila diperlukan. Pasien yang membutuhkan dosis multipel hendaklah diawasi ketat. Sangat mendasar bahwa pemesanan teratur untuk pengobatan seringkali perlu meninjau kembali respon pasien, efek samping, dan kelanjutan kebutuhan pengobatan.

Senin, 09 April 2012

Hubungan pemberian hipnotik sedatif dan inkontinensia urin

Salah satu penyebab inkontinensia urin pada lansia adalah pemberian obat hipnotif sedatif. Salah satunya adalah benzodiazepin yang biasanya digunakan sebagai mood stabilizer. Efek samping inkontinensia ini timbul dari kerja benzodiazepin yang menyebabkan relaksasi otot, termasuk otot-otot detrusor dan otot sphincter urethra sehingga tmenimbulkan inkontinensia urin pada keadaan-keadaan tertentu.

Benzodiazepin

Farmakodinamik Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA. Terdapat dua jenis reseptor GABA, yaitu GABAA dan GABAB. Reseptor GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks) terdiri atas lima subunit yaitu α1, α2, β1, β2 dan γ2. Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik subunit γ2 sehingga pengikatan ini menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi.

Efek yg ditimbulkan benzodiazepin merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama: sedasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsan. Sedangkan efek perifernya: vasodilatasi koroner (pada pemberian IV) dan blokade neuromuskular (pada pemberian dosis tinggi).

Farmakokinetik Benzodiazepin

1. Absorpsi: Benzodiazepin diabsorpsi secara sempurna kecuali klorazepat (klorazepat baru diabsorpsi sempurna setelah didekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil diazepam (nordazepam).

2. Distribusi: Benzodiazepin dan metabolitnya terikat pada protein plasma (albumin) dengan kekuatan berkisar dari 70% (alprazolam) hingga 99% (diazepam) bergantung dengan sifat lipofiliknya. Kadar pada CSF sama dengan kadar obat bebas dalam plasma. Vd (volume of distribution) benzodiazepin besar. Pada pemberian IV atau per oral, ambilan benzodiazepin ke otak dan organ dengan perfusi tinggi lainnya sangat cepat dibandingkan pada organ dengan perfusi rendah (seperti otot dan lemak). Benzodiazepin dapat melewati sawar uri dan disekresi ke dalam ASI.

3. Metabolisme: Metabolisme benzodiazepin di hati melalui kelompok enzim CYP3A4 dan CYP2C19. Yang menghambat CYP3A4 a.l. eritromisin, klaritromisin, ritonavir, itrakonazol, ketokonazol, nefazodon dan sari buah grapefruit. Benzodiazepin tertentu seperti oksazepam langsung dikonjugasi tanpa dimetabolisme sitokrom P. Secara garis besar, metabolisme benzodiazepin terbagi dalam tiga tahap: desalkilasi, hidroksilasi, dan konjugasi. Metabolisme di hati menghasilkan metabolit aktif yang memiliki waktu paruh lebih panjang dibanding parent drug. Misalnya diazepam (waktu paruh 20-80 jam) setelah dimetabolisme menjadi N-desmetil dengan waktu paruh eliminasi 200 jam.

4. Eksresi: Ekskresi metabolit benzodiazepin bersifat larut air melalui ginjal.

Efek Samping Benzodiazepin

Pada dosis hipnotik kadar puncak menimbulkan efek samping antara lain kepala ringan, malas, tidak bermotivasi, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi mental dan psikomotor, gangguan koordinasi berfikir, bingung, disartria, amnesia anterogard. Interaksi dengan etanol (alkohol) menimbulkan efek depresi yang berat.

Efek samping lain yang lebih umum: lemas, sakit kepala, pandangan kabur, vertigo, mual/muntah, diare, nyeri epigastrik, nyeri sendi, nyeri dada dan inkontinensia. Penggunaan kronik benzodiazepin memiliki risiko terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan. Untuk menghindari efek tersebut disarankan pemberian obat tidak lebih dari 3 minggu. Gejala putus obat berupa insomnia dan ansietas. Pada penghentian penggunaan secara tiba-tiba, dapat timbul disforia, mudah tersinggung, berkeringat, mimpi buruk, tremor, anoreksi serta pusing kepala. Oleh karena itu penghentian penggunaan obat sebaiknya secara bertahap.

Hipertensi

Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

Hipertensi juga diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output.

Klasifikasi

1. Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :

Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi.

Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat yang merupakan efek dari penyakit lain.. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi.

2. Berdasarkan bentuk hipertensi,yaitu hipertensi diastolic,campuran,dan sistolik.

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi campuran yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut.

Faktor Risiko

Faktor resiko hipertensi meliputi:

1. Usia.

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah, dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur.

2. Jenis Kelamin.

Jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause.

3. Riwayat Keluarga.

Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi.

4. Diet tinggi garam.

Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.

Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi.

5. Merokok.

Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembulu dadarah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokokmenggantikan iksigen dalam darah. Hal ini akan menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam organ dan jaringan tubuh.

6. Aktivitas.

Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.

7. Keadaan psikologis.

Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota.

Tanda dan Gejala

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan.

Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa: Nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi, nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

Patofosiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

Komplikasi

Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami atherosklerosis, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis juga dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.

Selain itu, infark miokard juga dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan.

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.

Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edema. Cairan didalam paru – paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema.

Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron-neron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian.